Dinamika Pendidikan, Islam, Sosbud, Iptek sekitar kita
Oleh : Drs. Herikasni, M.Pd.

Gong telah dibunyikan pertanda era persaingan bebas benar-benar digulirkan di bumi persada ini terhadap kawasan Asia Tenggara plus China dengan disahkannya ACFTA (Asean – China Free Trade Area) Agreement 2010 mulai sejak 1 Januari 2010. ACFTA merupakan persetujuan perdagangan bebas antar negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia ditambah China. Lalu lintas perdagangan bagi komoditi ekspor dan impor menjadi betul-betul bebas hambatan antar negara-negara Asean dan China. Banyak pebisnis, pengamat ekonomi, dan terutama produsen atau industri manufaktur lokal menilai serta khawatir produk China akan menguasai pasar lokal mengalahkan dan akan mematikan produk industri dalam negeri. Kekhawatiran ini segera terbukti dengan diserbunya pasar lokal oleh produk China yang ternyata sangat diminati konsumen dalam negeri, karena disamping harganya murah, kwalitasnyapun lebih baik.

Dampak di atas mestilah sangat dicermati oleh setiap daerah di Indonesia terutama yang belum memiliki primadona devisa lain selain sektor produk industri. Atau bahkan belum punya primadona sama sekali seperti Sumbar. Sumatera Barat sangat minim perindustrian selain hanya PT. Semen, PN. TBO, dan beberapa industri kecil lainnya. Pariwisata Sumbar di luar Mentawai adalah harimau tidur yang belum menggeliat, di samping pembatasan oleh adat Minang dan agama Islam. Memang ada kekayaan alam (SDA) seperti hasil laut dan pertanian, tetapi kalau tidak diolah secara modern melalui teknologi industri/ manufaktur akan tidak banyak berarti bagi perekonomian Sumbar, karena hasilnya masih berupa bahan mentah atau bahan baku yang dijual murah. Masyarakat Sumbar akan cenderung menjadi budak produk luar, dengan menjadi konsumen atau pemelihara berjayanya kelansungan pemasaran produk luar, tentu uang masyarakat Sumbarpun siap untuk dikuras ke luar Sumbar.

Sumatera Barat memang sudah semestinya tanggap terhadap ketertinggalan daerah ini dalam bidang industri/ manufaktur. Agar SDA menjadi komoditi bernilai tinggi dan ekonomi Sumbar mampu bersaing di era ACFTA mau tidak mau tentu segera mempersiapkan tumbuhnya industri manufaktur di daerah ini. Untuk itu Sumbar perlu mempersiapkan kebutuhan investor diantaranya mentalitas masyarakat, regulasi lahan (tanah ulayat), sarana-prasarana jalan, listrik, air, dan terutama SDM industri manufaktur yang siap kerja.
Menyangkut SDM, maka melirik kepada lembaga yang menyiapkan SDM manufaktur saat ini terutama tingkat teknisi/ operator menengah yang memiliki kompetensi tentulah SMK. Namun SMK teknologi yang ada di Sumbar saat ini belumlah berkonsentrasi pada industri manufaktur. Dengan alasan industri minim di Sumbar justru SMK teknologi secara kontras berbondong-bondong memajukan program studi service, seperti service otomotif, service elektronika, dan bukannya manufaktur otomotif atau manufaktur elektronika, atau bahkan manufaktur mesin pertanian, pengalengan, dan alat berat misalnya. Ini justru kelihatan seolah-olah telah mengukuhkan SDM sumbar menjadi calon pelayan yang memanjakan produk luar.
Memang melihat kepada fasilitas diklat SMK teknologi yang ada dan cost yang dibutuhkan hampir tidak memungkinkan masing-masing SMK tersebut berkonsentrasi pada bidang industri manufaktur. Pasalnya mesin-mesin produksi rata-rata SMK masih belum punya, dan sumber dana untuk memenuhi cost sangat terbatas. Kalau pengadaan baru dan dibiayai daerah maupun pusat makan berapa ratus milyar agar setiap SMK punya mesin dan beroperasi, belum lagi pemeliharaannya.

Disdikpora Sumbar punya mesin-mesin produksi dalam jumlah memadai di Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT). Bahkan memiliki mesin-mesin hi-tech seperti Computer Numerically Control (CNC) baik Training Unit (TU) maupun Production Unit (PU), jenis lathe maupun milling ada beberapa unit, serta otomasi pneumatic, dan PLC. Mesin konvensional seperti Mesin scrap, surface grinding machine, tools cutter grinder, lathe copy machine, press machine, drilling machine, grinding machine, cutting machine, folding machine, welding machine, TIG, MIG, acytilene welding, dan lain-lain. Namun jika mesin-mesin ini misalnya dibagikan untuk SMK, maka akan sia-sia, sebab untuk semua SMK tidak akan memadai, disamping ongkos relokasi yang cukup tinggi. Ini juga akan menimbulkan saling sentimen antara SMK sendiri.

Upaya penyiapan SDM bidang industri manufaktur tingkat menengah mungkin akan lebih baik justru bila di pusatkan di BLPT Sumbar saja, karena memang BLPT dengan segala fasilitasnya akan lebih siap jika dibandingkan menyediakan fasilitas bagi setiap SMK atau menyiapkan SMK baru dengan peralatan baru, asal dengan sarat BLPT sejak sekarang tidak terbengkalai, karena kalau dibiarkan mesin-mesin akan cepat rusak. Aset provinsi yang sudah jadi dan bernilai puluhan milyar akan terbuang percuma. Fasilitas BLPT hanya membutuhkan dana beberapa milyar saja untuk direvitalisasi baik mesin, gedung dan mobiler asal dikerjakan oleh orang yang tepat. Tentunya dengan syarat manajemen dan SDM lembaga juga harus dibenahi terlebih dahulu seselektif mungkin. Bentuk dari lembaga bisa saja khusus sebagai Pusat Diklat Teknologi Industri Manufaktur Sumbar, Pusat Diklat SMK Teknologi Sumbar, SMK SBI Bidang Teknologi Industri, atau mendirikan SMK SBI di dalam BLPT Sumbar.

Wacana ini memang memiliki satu tujuan dan harapan kepada masarakat Sumbar, terutama para Stake Holder pendidikan teknologi di Ranah Minang ini. Agar secara sengaja maupun tidak sengaja, tidak akan membiarkan atau menghilangkan aset utama pendidikan teknologi industri manufaktur di Ranah Minang ini yaitu BLPT Sumbar. Karena ada keyakinan sesungguhnya pihak-pihak berwenang daerah belum mengenal betul potensi BLPT. BLPT sangat potensial untuk memberdayakan generasi muda Sumbar sebagai calon teknisi industri manufaktur handal yang kelak akan memberdayakan perindustrian di Sumbar. Karena itu bila dihilangkan sama halnya dengan melakukan pengebirian generasi remaja Sumbar terhadap bidang teknologi. Hal itupun tidak sejalan dengan semangat Depdiknas dalam mencanangkan perbandingan SMA : SMK sebagai 30 : 70 di tahun 2010 ini.
Plagiaat menurut Kamus Internasional Populer (Karya Anda : ) adalah perbuatan menjiplak tulisan/ karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Menurut Kamus Modern (M. Dahlan Al Barry : 1994) plagiat adalah penjiplakan karya cipta orang lain dan dipublikasi sebagai karya cipta sendiri. Orang yang melakukan ini disebut sebagai plagiator. Kamus lengkap Prof. Drs. S. Wojowasito-WJS. Purwadarminta : 1980 menuliskan plagiarism (penjiplakan), dan plagiarist (penjiplak). Sesungguhnya karya tulis merupakan kekayaan intelektual seseorang, dan bagi orang yang mengambil (menjiplak) karya tulis orang lain dianggap pencuri dan dapat saja dikenakan sanksi pidana, untuk kemudian dihukum penjara serta membayar denda.
Namun walau banyak orang tahu, terutama di kalangan orang-orang terpelajar dan berpendidikan seperti di kalangan pelajar, mahasiswa, pegawai, dan masyarakat berpendidikan umumnya, kegiatan plagiat justru terlihat marak dilakukan. Apalagi sekarang didukung teknologi komputer (beserta internet dan equipmentnya) yang canggih. Satu flash disk, atau bahkan external disk dapat memuat ratusan file dengan colok sana sini, tinggal ganti nama, tanpa rikuh lalu tinggal diprint.

Mulai dari tugas sekolah, di sebagian sekolah, murid-murid sudah terbudayakan untuk menyalin (bahkan memfotocopy atau mengcopy paste) apakah dari buku atau internet, dengan legitimasi untuk bahan belajar tugas ini diprint dengan cantik, dikumpul untuk dinilai guru. Bahkan ada beberapa PR siswa yang dikumpul, kulitnya saja yang berbeda (ini dapat terpantau di tempat siswa memfotocopy atau memprint). Padahal ini unsur belajarnya sangat sedikit dibandingkan jika siswa diwajibkan membaca dari sumber yang diarahkan guru, tidak perlu diprint (kecuali karya sendiri), tapi diuji satu persatu. Memang, gurunya tentu harus membaca dan menguasai materi terlebih dahulu. Lalu sebagian mahasiswa, untuk tugas-tugas kuliah, laporan-laporan, bahkan skripsi, sudah lumrah jiplak menjiplak, tidak lagi terpantau oleh dosennya. Adapula yang melegitimasi, asal inti materinya berbeda sah-sah saja. Apa iya? Sebagian PNS dan masyarakat umumpun tidak terkecuali. Portofolio untuk penilaian naik pangkat/ jabatan, karya tulis, bahan ceramah, piagam, proposal proyek, karya cipta, bahan perizinan diubah-ubah sedikit lalu diklaim sebagai milik sendiri. Sejauh ini yang berwenang pada bidang masing-masing nampaknya belum lagi berkonsentrasi untuk menertibkannya, sementara dunia tulis-menulis semakin dijauhi kejujuran.

Kemudian mencermati pula kepada para pendidik, khususnya profesi guru. Dunia guru tidak pula luput dari syndrome atau symptom ini. Padahal guru adalah pendidik dan teladan. Banyak guru dalam melaksanakan tugas profesi mendidiknya mulai lumrah menggunakan karya atau milik orang lain. Seorang guru perlu menyusun perangkat kurikulum dan bahan pengajaran seperti Kalender Pendidikan, Rincian Minggu Efektif, SI, SKL, SK/ KD, SKKNI/ Spektrum, Pemetaan Kompetensi, Silabus, KKM/ Pemetaan Indikator KKM/ SKKM, Program Pengajaran Semester, RPP, Materi bahan ajar, Buku-buku Pegangan, Buku Absen, Batas Pelajaran, Lembar Penilaian/ Evaluasi hasil belajar, Buku Nilai, Alat Bantu Belajar, analisisPBM/ pengayaan, dan Administrasi kelas bagi wali kelas. Kesemuanya merupakan administrasi pendidikan dengan mata rantai utama KTSP sekolah, yang harus dikuasai oleh seorang guru. Untuk yang ditulis miring harus dibuat sendiri oleh guru yang bersangkutan sesuai bidang kompetensi yang diajarkannya. Sesungguhnya di dalam sepuluh kompetensi guru dan kode etik guru telah mengisyaratkan hal itu harus dikuasai oleh seorang guru. Tetapi guru yang tidak kompeten (kadang tercipta oleh Crash Programme), menjiplak atau mengcopy paste milik orang atau sejawatnya, lalu mengklaim sebagai karya sendiri. Memang tugas guru idealnya berat dan bukan hanya di sekolah, (seperti pegawai yang hanya di kantor, ketika pulang bisa bersantai), guru selalu membawa tugas-tugasnya ke rumah. Begadang hingga larut malam, apalagi di awal dan akhir semester. Tetapi hal demikian bukanlah alasan bagi seorang guru untuk menghalalkan praktek plagiat seperti mengcopy paste atau menjiplak silabus, RPP, diktat, modul, hand out, lembar informasi, job sheet, dan sebagainya untuk diklaim sebagai karya sendiri. Apalagi yang sifatnya dikomersilkan seperti dijual, bahan ajar paket diklat, menatar, bahkan untuk sertifikasi guru.

Sertifikasi guru esensinya untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru agar mutu pendidikan nasional dapat terangkat. Maka dari peningkatan itu seorang guru berhak mendapatkan penghargaan imbalan jasa berupa sertifikasi. Bagaimanakah jika sertifikasi itu sebagian didapatkan dari tindakan plagiat dan pemalsuan bahan portofolio seperti yang tersinyalir oleh Direktorat PMPTK? Wallahu’alam. Memang proses sertifikasi guru sekarang ini belumlah selektif dan efektif. Belum mengukur kompetensi dan kinerja guru. Wajar kalau ada yang berpendapat sertifikasi akan diberikan kepada semua guru karena tujuannya hanya untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Inipun sesungguhnya sah-sah saja dan dapat disyukuri. Tetapi menjadi seorang guru seyogyanya tidak terlepas dari mata hati, nurani, dan akal budi agar tindakannya selalu jadi teladan terjaga dari akhlak moral yang kurang baik.

Guru adalah pendidik. Mendidik merupakan suatu kegiatan yang bukan hanya mengajarkan ilmu atau keterampilan, tetapi lebih kepada memberi keteladanan, mencontohkan, terutama melalui diri sendiri. Guru meneladankan bagaimana cara belajar, bagaimana cara membaca, cara memahami, menulis, cara bekerja, bagaimana cara bersikap, berakhlak, menghargai orang, karya orang lain. Untuk kemudian menghargai diri sendiri dengan berkarya sendiri dan menghindari sikap plagiat. Tentu seyogyanya seorang guru terlebih dahulu membiasakan diri membaca, berupaya memahami bacaan, dan kemudian membiasakan pula menulis, terutama bahan-bahan yang terkait dengan kegiatan pendidikan pembelajaran, dan seterusnya. Dengan demikian seorang guru dapat membuktikan kompetensinya, kinerja, sekaligus meneladankan sikap konstruktif kepada anak didik.

Selepas itu maka biarkan yang berwenang, seperti pengawas, pimpinan atau tim assessor sertifikasi untuk bekerja melakukan penilaian yang obyektif. Tentu seorang guru yang profesional akan dinilai dari kompetensi mengajarnya terhadap subyeknya anak didik, bukan dari status kepegawaian atau hal-hal lain, dan tentu seyogyanya ia akan mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Padang, 10 Januari 2010
Penulis : Drs. Herikasni, M.Pd.
BLPT Sumbar
Oleh : Drs. Herikasni, M.Pd.

Ketertinggalan Sumatera Barat dari provinsi lain yang sangat menyolok mata adalah pertumbuhan industri. Dalam bidang ini boleh dikatakan Sumbar jalan di tempat, stagnant. Di Sumatera saja pertumbuhan industri pada provinsi lain sangat nyata. Berbagai industri berkembang di Sumut, Riau, Sumsel. Apalagi jika dibandingkan dengan pulau Jawa. Industri bahkan telah menjadi pemandangan sehari-hari, bahkan telah didukung pula dengan meng-aplied berbagai hi-tech. Padahal perindustrian adalah salah satu sektor penunjang utama dalam meningkatkan perekonomian suatu daerah. Bila jujur, tanpa didukung data riset yang kongkritpun, maka kita akan mengakui bahwa provinsi yang mengembangkan perindustrianlah yang menguasai ekonomi di Indonesia saat ini, walau kurang sumber daya alam. Karena mereka produsen yang menguasaiteknologi, maka mereka akan menguasai pasar. Sebaliknya walau daerah memiliki SDA melimpah tanpa kemampuan mengolah akan bernilai rendah.

Berbagai kajian tentu telah dilakukan oleh pemda Sumbar untuk menganalisis alasan utama kurang berkembangnya investasi dalam sektor perindustrian di daerah ini. Menteri Dalam Negeri Bapak Gamawan Fauzi, SH, MM., yang sebelumnya sebagai Gubernur Sumbar pernah menyinggung, persoalan investasi yang paling utama di Sumbar adalah masalah tanah ulayat. Untuk itu mendagri berpendapat, dalam menyerap investasi, kaum yang memiliki tanah ulayat dapat melakukan kerja sama dengan investor seperti sewa guna, perhitungan saham, pengelolaan bersama dan sebagainya. Apapun asal dapat menguntungkan bagi masyarakat dan pemda Sumbar tentunya.

Tetapi kalau ditelisik lebih dalam lagi ternyata persoalan investasi dalam bidang perindustrian bukan sebatas hanya masalah tanah ulayat saja. Contoh dapat dilihat kota Padang. Tanah telah disediakan puluhan hektar di By Pass Duku untuk kawasan industri dengan nama Padang Industrial Park (PIP). Dulu tahun 1998 karena terjadi krisis moneter, maka disebut sebagai penyebab gagal atau batalnya investasi. Tapi sebelas tahun krismon berlalu, setiap saat orang melewati PIP, apalagi dari atas jembatan di PIP itu, pemandangan masih kering kerontang. Banyak sudah didengar Memorandum of Understanding ditanda-tangani. Konon Maigus Nasir, S.Pd. sewaktu masih ketua DPRD kota Padang pernah diajak investor Cina ke Beijing dalam rangka
rencana investasi dibidang industri pengolahan ikan, tapi juga tidak diketahui kelanjutannya.

Sarana prasarana konon juga menjadi alasan penyebab, antara lain perhubungan, air bersih, dan listrik. Namun khusus soal air sesungguhnya Sumbar adalah daerah mata air sungai gunung dan danau yang melimpah. Soal listrik konon lagi ada yang di suplai ke Riau, wallahu’alam.

Ada sisi lain sesungguhnya kalau kita mau meng-inap menungkan, yang telah luput dari perspektif masarakat dan penggiat pembangunan kehidupan investasi terutama dibidang industri di Sumatera Barat, yaitu pembinaan SDM bidang industri itu sendiri. Baik dalam hal sikap mental, level pendidikan, spesialisasi, dan terutama penguasaan kompetensi sebagai calon profesional bidang industri/ manufaktur, masih sangat termarjinalkan.

Melirik kepada sekolah-sekolah SMK teknologi sebagai satuan pendidikan bidang teknologi saat ini masih jauh sekali dari singkron untuk menunjang tumbuhnya industri manufaktur di Sumbar. Disamping peralatan yang sangat minim, SMK yang membuka program studi mesin produksi, pengerjaan logam (industri manufaktur) masih sedikit. Oleh sebab itu masarakat Minang sebagai anak nagari tentu saja sama-sama berharapan agar di Ranah Minang dapat lebih terbina pula generasi muda dalam bidang teknologi manufaktur ini, agar di Ranah minang dapat pula tumbuh dan berkembang industri manufaktur yang kelak dapat mengangkat perekonomian daerah sehingga tidak tertinggal dari daerah lainnya.

Harapan itu terutama tentunya tertuju kepada para pimpinan daerah kita. Melalui dinas-dinas yang tersedia dalam bidang yang relevan, agar memberikan perhatian pada pendidikan teknologi industri manufaktur ini guna menyiakan calon-calon teknisi/ operator muda bidang manufaktur. Calon naker yang siap membangun industri Sumbar, mudah-mudahan.

Page Rank

PageRank